Senin, 07 Mei 2012

HUKUM PERIKATAN


Definisi Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut“ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang, dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.

Sumber – sumber hukum perikatan
1.     Perjanjian
2.     Undang – undang yang dapat dibedakan dalam :
Undang – undang semata
Undang – undang karena perbuatan manusia yang halal
Melawan hukum
3.     Jurisprudensi
4.     Hukum tertulis dan tidak tertulis
5.     Ilmu pengetahuan hukum

Dasar hukum perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1.     Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.     Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang- undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata ”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a.     Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b.     Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

Azas – azas dalam hukum perikatan
1.     Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.     Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1.     Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.     Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.     Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.     Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

wanprestasi dan akibat dalam hukum perikatan
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.



Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.     Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan  oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.     Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.     Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

Sifat Hukum Perikatan
Hukum perikatan merupakan hukum pelengkap, konsensuil, dan obligatoir. Bersifat sebagai hukum pelengkap artinya jika para pihak membuat ketentuan masing-masing, setiap pihak dapat mengesampingkan peraturan dalam Undang-undang.
Hukum perikatan bersifat konsensuil artinya ketika kata sepakat telah dicapai oleh pihak masing-masing, perjanjian tersebut bersifat mengikat dan dapat dipenuhi dengan tanggung jawab.
Sementara itu, obligatoir berarti setiap perjanjian yang telah disepakati bersifat wajib dipenuhi dan hak milik akan berpindah setelah dilakukan penyerahan kepada tiap-tiap pihak yang telah bersepakat.

Macam-macam Hukum Perikatan
Berikut ini merupakan beberapa jenis hukum perikatan.
1. Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada syarat tertentu.
2. Perikatan dengan ketetapan waktu, yaitu perikatan yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada waktu yang tertentu atau dengan peristiwa tertentu yang pasti terjadi.
3. Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng, yaitu para pihak dalam perjanjian terdiri dari satu orang pihak yang satu dan satu orang pihak yang lain. Akan tetapi, sering terjadi salah satu pihak atau kedua belah pihak terdiri dari lebih dari satu orang.
4. Perikatan dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, artinya perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan yang prestasinya dapat dibagi-bagi. Sementara perikatan yang tidak dapat dibagi, adalah perikatan yang prestasinya tidak dapat dibagi-bagi.

Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
a)     Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
b)     Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c)      Pembaharuan utang
d)     Perjumpaan utang atau kompensasi
e)     Percampuran utang
f)      Pembebasan utang
g)     Musnahnya barang yang terutang
h)     Batal/pembatalan
i)       Berlakunya suatu syarat batal
j)       Lewat waktu


Sumber :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar