Selasa, 03 Januari 2012

Kutemukan Arti Hidup

Kehidupan itu adalah perjalanan yang panjang, penuh tikungan yang tajam, dan akan jatuh bila tidak hati-hati melewatinya. Orangtuaku memberi namaku Viandita, yang kata teman-temanku adalah anak pendiam, terutama di SMA kami. Aku sangat mencintai masa-masa SMA-ku, walaupun sebenarnya aku belum pernah mendapatkan apa yang selama ini aku cari.

Sejak tiga tahun kematian ayah karena gagal ginjal, aku tinggal bersama tante Ana, dia adalah adik dari ibuku. Dimana ibumu? Ya, ibuku meninggal ketika aku baru berusia dua hari, dia meninggal karena pendarahan yang hebat. Dan aku tidak pernah merasakan hangat pelukannya. Sifatku yang keras terkadang membuat orang di sekelilingku jengkel, aku tahu itu, tapi itulah aku.

Selama ini aku telah menyia-nyiakan waktu dan kehidupanku. Aku terlalu egois dan selalu berpikir hidup ini hanya untuk bersenang-senang. Tanpa kusadari bahwa sebenarnya aku tak kan selamanya merasakan kebahagiaan, dan kesedihan akan selalu mencari celah untuk masuk di kehidupanku. Hidup ini seperti pohon, itu yang ayah bilang padaku. Tiap bagiannya mempunyai arti khusus yang tak bisa diuraikan satu persatu, tapi akan kuberikan satu diantaranya, yaitu daun. Ayah bilang mereka tumbuh, lalu berguguran dan berganti lagi dengan yang baru, itu seperti orang yang lahir, pergi dan akan ada lagi yang baru. Dan di sini, aku telah menemukan arti dari kehidupan itu yang sebenarnya...

Bel berbunyi, seperti biasa pelajaran akan dimulai, tapi beberapa anak masih tampak berkeliaran di luar, mereka memperbaiki pakaian yang berantakan, berlari karena terlambat dan memelas untuk bisa melewati pintu gerbang yang sudah ditutup tepat pukul 07.15. Pemandangan ini adalah makanan sehari-hari bagiku yang bisa kulihat dari jendela yang tepat berada di sampingku. Aku menyukai tempat yang sedang kududuki ini karena di sini semua sudut sekolah bisa kulihat.
Aku tersentak kaget saat tangan Icha mendarat di pundakku.
“Serius amat, lagi ngeliat apaan sih?” tanya Icha heran.
“Ngak ada,” balasku singkat dengan senyum yang tak berarti. Wajah Icha terlihat bingung, tapi dilanjuti dengan senyum manis yang sering membuatku gemas.

Dan .....
Tuk...tuk ....tuk.... suara sepatu menyentuh lantai itu kian mendekat kelasku. Anak-anak yang sudah hapal dengan suara itu berhamburan kembali ke tempat duduknya. Padahal tadinya mereka asik berjalan mencari tempat nongkrong yang paling seru untuk topik gossip hari ini. Dan kelasku yang tadinya hampir seperti pasar, kini lengang seperti pemakaman.

Sepulang dari sekolah, aku memilih berpisah di perempatan jalan, karena hari ini ada satu tempat yang ingin aku kunjungi.
“Mau kemana sih Vi?” tanya Satya.
“Cuma mau ke toko buku sebentar,” balasku.
“Yah, Satya kayak nggak tau aja rutinitas Vian. Lupa ya, ini kan hari Rabu, biasa,” tambah Icha.

“Ya, aku hampir lupa. Ya udah kalau gitu, hati-hati ya,” nasehat Satya. aku hanya membalasnya dengan anggukan, dan pastinya mereka tau arti dari anggukan ku itu.
Dan di sini, aku berdiri menatap langit yang hampir mendung. Angin yang berhembus membuat pohon dan rumput-rumput hijau itu bergoyang pelan, daun-daun itu seakan mengikuti alunan lagu yang dibawakan oleh angin. Aku menyukai hal itu, dan semua ini hanya bisa kudapatkan di sini.

Di tepian danau yang tak jauh dari rumahku, bukan di toko buku seperti yang kubilang pada Satya dan Icha, aku duduk di bawah pohon rindang. Kuterawang setiap tempat, sunyi, hanya ada aku, pepohonan, rumput hijau dan danau ini. Terkadang aku heran, mengapa tempat seindah ini tak pernah terjamah oleh mereka yang ingin mencari kenyamanan, mereka malah pergi ke cafe, diskotik dan club-club malam yang sarat akan keributan. Entahlah, mungkin mereka bisa mendapatkan kenyamanan dari tempat-tempat itu, tapi tidak untuk aku. Ya, aku tau tiap orang berbeda-beda.

Di perjalan pulang seperti biasa, aku melewati beberapa ruko dan rumah tak berpenghuni. Ini adalah jalan yang biasa kulewati ketika pulang sekolah. Langkah kakiku berhenti di depan rumah yang bergaya tempo dulu, bangunannya masih asli dan belum pernah direnovasi. Rumah yang tak pernah diurus oleh pemiliknya itu terlihat ada yang menghuni. Aku penasaran, ingin rasanya bertanya, tapi ...
“Selamat siang, Bapak pemilik rumah ini ya?” tanyaku yang tadinya ragu-ragu.
“Ya siang. Bukan, saya anak yang punya rumah ini. Kamu tinggal di sekitar sini ya?” balasnya dengan nada yang sangat lembut.

“Oo... saya kira bapak yang punya rumah ini. Ya, rumah saya nggak jauh dari sini. Nama saya Vian,” tambahku sambil mengulurkan tangan.
“Saya Herdian, panggil saja Om Hedi,” ucapnya sambil menyambut uluran tanganku. Lelaki paruh baya itu terlihat baik, dan aku menghabiskan cukup lama untuk ngobrol dengannya.

Dia bercerita padaku tentang perjuangannya selama dua tahun belakangan ini melawan penyakit kanker darah. Penyakit yang membuatnya mengerti tentang hidup dan betapa berartinya waktu. Aku teringat saat ayah melawan penyakit yang bersarang di tubuhnya dulu. Ia hampir putus asa dan menyerah, tapi ada satu alasan yang membuat ia bangun dan kekeh untuk bisa bertahan, yaitu aku.

“Ayah Vian pasti orang yang baik...,” ucap Om Hedi menatapku.
“Pasti, dia adalah orang yang paling baik di dunia ini,” balasku bangga.
“Dan pastinya dia adalah seorang pekerja keras, benarkah?” tambahnya lagi. Aku hanya mengangguk.

“Di luar sana masih banyak orang yang bernasib sama dengan Om, dan ayah Vian. Kami mendambakan kehidupan, tapi banyak pula orang yang menyia-nyiakan kehidupannya itu,” ucap Om Hedi lirih. Raut wajahnya menggambarkan rasa kecewa. Aku percaya ayah pasti setuju dengan apa yang baru saja aku dengar tadi.
“Tapi Om yakin, Vian nggak ngelakuin itu,” tambahnya lagi. Aku hanya membalas dengan untaian senyum.

Aku pulang disambut dengan beberapa pertanyaan dari tante Ana. Aku tau dia pasti khawatir, seperti ayah dulu yang selalau mewawancaraiku bila aku pulang terlambat. Di kamar, kubuka lagi buku jurnal ayah yang berisi kalimat-kalimat indah. Buku yang sudah menjadi saksi perjalanan hidup ayah itu kini ada bersamaku.
“Jangan pernah menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk saling berjauhan, tapi jadikanlah perbedaan itu sebagai alasan untuk kita saling mengenal dan pondasi untuk membangun suatu hubungan...”.
“Keberhasilan yang sebenarnya tak akan menemukan jalan yang lurus, tapi ia akan menemukan jalan yang berliku dan beberapa tikungan yang tajam...”.

Kini setalah apa yang terjadi, apa yang kulihat, kudengar dan kurasakan, aku mulai mengerti tentang hidup. Bahwa sebenarnya hidup ini adalah berjuang, ya berjuang untuk bisa mencapai titik yang diinginkan. Entah itu kebahagiaan atau keberhasilan, dan sekarang tak akan kubiarkan ayah dan ibuku kecewa, tapi sebaliknya... aku akan berjuang untuk membuat mereka bangga. Hari ini, entah kenapa aku merindukan mereka.

Referensi : Tri Wulandari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar