Sebuah negara hukum, lazim ketika ada sebuah konstitusi yang kemudian
menjadi dasar suatu negara dalam menjalankan pemerintahan. Konsep konstitusi
sendiri telah ada sejak zaman Yunani. Dalam bahasa Yunani, konstitusi kemudian
dibedakan dengan undang-undang biasa. Politea sebagai konstitusi, Nomoi sebagai
undang-undang biasa. Politea mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
Nomoi karena Politea.
Selain dasar, ada juga yang berpendapat bahwa konstitusi juga sebagai
pembentuk suatu negara. Menurut Wirjono Prodjodikoro, konstitusi berasal dari
bahasa perancis, Constituer yang berarti membentuk, yang dalam konteks ini
membentuk negara. Sudah jelaslah bahwa dalam konstitusi juga terdapat cita-cita
pembentukan negara yang diamanatkan oleh para founding father dalam konstitusi.
Tentunya cita-cita ini tidak sembarangan disematkan oleh para founding
father. Dimaksudkan disematkan dalam konstitusi, agar para pemegang amanah
rakyat dalam menjalankan tampuk pemerintahan, bisa mengarahkan negara ini
menuju Welfare State, cita-cita mulia para founding father, negara yang mampu
mensejahterahkan rakyatnya.
Cita-cita ini yang kemudian diamanahkan dalam pasal 33 UUD 1945 Negara Republik
Indonesia.
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam ya ng terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebe sar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berk eadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal ini yang kemudian menjadi penjamin kesejahteraan dalam setiap penyelenggaraan pemerintah. Bahwa hak negara lah untuk menguasai sektor-sektor produksi yang menguasai hajat hidup jutaan rakyat Indonesia.
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam ya ng terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebe sar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berk eadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal ini yang kemudian menjadi penjamin kesejahteraan dalam setiap penyelenggaraan pemerintah. Bahwa hak negara lah untuk menguasai sektor-sektor produksi yang menguasai hajat hidup jutaan rakyat Indonesia.
Pengangkangan Putusan MK = Mengangkangi Konstitusi
Masalah kemudian timbul dalam pembahasan UU APBN-P 2012. Rapat Paripurna yang direncanakan membahas tentang persetujuan DPR untuk mendukung atau tidak kenaikan BBM, membahas mengenai pasal 7 ayat 6 yang berbunyi seperti ini :
Masalah kemudian timbul dalam pembahasan UU APBN-P 2012. Rapat Paripurna yang direncanakan membahas tentang persetujuan DPR untuk mendukung atau tidak kenaikan BBM, membahas mengenai pasal 7 ayat 6 yang berbunyi seperti ini :
“Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami
kenaikan.”
Pemerintah yang berniat menaikkan BBM, seakan dibantu dengan keputusan DPR
yang membuat poin dari Pasal di atas yaitu Poin 6A. Poin itu membolehkan
pemerintah menaikkan BBM bila harga minyak mentah dunia berfluktuasi lebih atau
kurang dari 15% dari asumsi dalam 6 bulan. Ini yang kemudian menjadi masalah
dalam dalam anggaran tahun ini.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003, MK pernah
memutus inkonstitusional pasal 28 ayat 2 dan 3 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak & Gas Bumi. Substansi pasal tersebut tidak jauh beda dengan pasal 7
ayat 6a yang menyerahkan harga ke pasar internasional. Pasal 28 Ayat 2 &
ayat 3 :
(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi
diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
Menurut MK, pemerintah harus turut campur tangan dalam penentuan harga
eceran BBM. Penyerahan penentuan harga eceran BBM ke pasar internasional adalah
pengangkangan secara langsung terhadap konstitusi. Penambahan ayat di UU APBN-P
2012 adalah secara langsung menghina putusan MK karena dalam putusan itu secara
jelas MK melarang menyerahkan harga BBM eceran ke pasar internasional.
Selanjutnya kita melihat adanya kekacauan dalam harmonisasi peraturan
perundang-undangan jika ada penambahan poin 6a di pasal tersebut. Karena untuk
persoalan harga ini sebelumnya sudah diatur dalam UU 22 Tahun 2011 tentang
Minyak & Gas Bumi. Yang kemudian dibatalkan oleh MK melalui putusannya.
Sebelumnya MK telah melarang untuk menyerahkan harga BBM ke pasar internasional karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di pasal 33 UUD 1945. Namun kenapa DPR tidak belajar dari sejarah putusan itu?
Sebelumnya MK telah melarang untuk menyerahkan harga BBM ke pasar internasional karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di pasal 33 UUD 1945. Namun kenapa DPR tidak belajar dari sejarah putusan itu?
Bahwa harga BBM eceran tidak bisa diserahkan ke pasar internasional. Ini
yang kemudian menjadi masalah utama dan sangat rentan diputus inkonstitusional
oleh MK jika ada yang mengajukan uji materi ke MK. Alhamdulillah Senin,
(2/4/2012) kemarin Bapak Yustil Ihza Mahendra telah melakukan uji materiil ke
MK terkait pasal ini. Semoga saja keadilan bisa ditegakkan di MK.
Krisis
Kepercayaan Terhadap Pemerintah
Banyaknya masyarakat yang menentang kenaikan BBM ini
sebenarnya menunjukkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah.
Masyarakat masih melihat banyak opsi lain seperti pemberantasan korupsi, penghematan belanja negara, rendahnya pemasukan negara dari tambang dan lain-lain, yang masih belum dilakukan secara maksimal.
Masyarakat masih melihat banyak opsi lain seperti pemberantasan korupsi, penghematan belanja negara, rendahnya pemasukan negara dari tambang dan lain-lain, yang masih belum dilakukan secara maksimal.
Pertemuan antara lain merekomendasikan agar keputusan
tentang harga BBM dapat dilakukan dengan cepat, untuk mengurangi spekulasi dan
inflasi akibat ketidakpastian kenaikan harga BBM.
Dalam jangka menengah, keputusan untuk menaikkkan harga BBM hendaknya tidak berdasar pada kepentingan sesaat, tetapi terukur berdasarkan kriteria yang telah disepakati bersama. Misalnya, perlu adanya batasan minimal gejolak harga minyak dunia yang menjadi acuan.
Dalam jangka menengah, keputusan untuk menaikkkan harga BBM hendaknya tidak berdasar pada kepentingan sesaat, tetapi terukur berdasarkan kriteria yang telah disepakati bersama. Misalnya, perlu adanya batasan minimal gejolak harga minyak dunia yang menjadi acuan.
Indikator-indikator lain perlu juga ditetapkan berkaitan dengan komitmen pemerintah, misalnya kenaikan BBM baru dilakukan setelah pemerintah melakukan penghematan anggaran, mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu dan atau kriteria lainnya.
Untuk jangka panjang, perlu dibentuk peta jalan
tentang visi energi ke depan, yang berisi tentang strategi ke depan di bidang
energi. (ZG)
Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 (halaman 227-228)
“Para Pemohon
mendalilkan, sebagai akibat diserahkannya harga minyak dan gas bumi kepada
mekanisme persaingan usaha, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2)
undang-undang a-quo, di samping akan menimbulkan perbedaan harga antar
daerah/pulau yang, menurut Para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan
kecemburuan sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di
setiap negara di mana Pemerinah ikut mengatur harga BBM sesuai dengan
kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara, karena komoditas BBM
tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap dalil Para Pemohon dimaksud, Mahkamah
berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga
haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan
banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang
ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan (3) undang-undang a quo
mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah
sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna
prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945,
guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah,
seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan
oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu
dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh
karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945;”
Celah yang
terbuka dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menurut pandangan saya,
membuat Mahkamah Konstitusi akan kesulitan menggunakan alasan “political
questions” (permasalahan pilihan kebijakan) untuk menyatakan permohonan tidak
dapat diterima. Seperti kita ketahui, kemungkinan besar akan diajukan
permohonan terhadap kebijakan yang mengatur penentuan harga BBM. Dalam Pasal 7
ayat 6a UU APBN-P 2012, ditentukan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan
penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya, apabila dalam
kurun waktu 6 bulan terakhir ada kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15
persen. Kemungkinan besar yang dipermasalahkan adalah dasar penentuan kebijakan
yang mengacu pada naik turunnya harga tersebut (awam dipahami sebagai
“mekanisme pasar”). Tentu akan sulit diterima, bahwa Mahkamah Konstitusi tidak
dapat menerima permohonan untuk menguji pilihan kebijakan yang mengacu pada
“mekanisme pasar” tersebut, sedang sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah
mengutak-atik pilihan kebijakan yang mengacu pada “mekanisme pasar”.
Pasal 7 ayat 6a
UU APBN-P 2012
“Dalam hal harga
rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu
berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam
enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam
APBN-P Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan
penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.”
Meskipun
permohonan dapat diterima, menurut pendapat saya, belum tentu permohonan
tersebut akan dikabulkan. Justru sebaliknya, dalam pemahaman saya, justru
permohonan tersebut akan ditolak.
Pertama, kalau
alasannya ada kewenangan yang tidak jelas diatur, yaitu apakah pemerintah
(eksekutif) berwenangan untuk menentukan harga BBM, putusan Mahkamah Konstitusi
sebelumnya telah menjawab dengan lugas. Penentuan tersebut memang menjadi
kewenangan pemerintah. Artinya, kalau mau jujur, adanya larangan pemerintah
untuk menetapkan harga BBM tersebut (Pasal 7 ayat 6 UU APBN-P 2012) justru yang
tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.
Kedua, jika yang
dijadikan dasar pembatalan adalah adanya pertimbangan naik turunnya harga
minyak di pasar dunia (awam dipahami sebagai “mekanisme pasar”), meskipun
konteksnya sebenarnya lain dengan putusan Mahkamah Konstitusi – yang merujuk ke
pasar dalam negeri, tidak ada larangan penggunaan acuan tersebut sebagai dasar
penentuan kebijakan. Faktanya, suka atau tidak suka, pemerintah akan terikat
pada kondisi pasar dunia. Kalau pertanyaannya kemudian, mengapa tidak pilihan
kebijakan fiskal lain yang diambil – selain menurunkan subsidi BBM, saya pikir
hakim juga bukan berarti bisa punya jawaban yang lebih baik.
Apa dasarnya menentukan
satu mata anggaran, misalnya, lebih bisa dijadikan prioritas ketimbang yang
lain? Idealnya, keadaan ini akan membuat hakim seharusnya menyatakan permohonan
tersebut tidak dapat diterima, tetapi karena toh sebelumnya Mahkamah Konstitusi
pernah memutuskan poin terkait pilihan kebijakan ini, maka saat ini Mahkamah
Konstitusi semestinya meluruskan kembali putusannya itu. Menafsirkan dengan
lugas bahwa untuk penilaian kebijakan apa yang akan digunakan, serta bagaimana
perhitungannya, adalah wilayah pembuat kebijakan. Selama tidak ada pelanggaran
hak konstitusional, maka sesungguhnya hakim tidak punya kewenangan, serta toh
tidak bisa menetapkan secara obyektif juga, bagaimana kebijakan itu semestinya
diambil.
Baik argumen
“demokrasi ekonomi” untuk “menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional” sesuai Pasal 33 ayat (4), maupun ketidakpastian hukum sesuai Pasal
28D ayat (1), pada akhirnya, sebagaimana pernah diputuskan sebelumnya oleh
Mahkamah Konstitusi (lihat Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 di atas), secara hukum
telah diatur sebagai kewenangan pemerintah. Bagaimana pilihan kebijakan yang
diambil, pada akhirnya menjadi wilayah politik cabang kekuasaan eksekutif, yang
tidak bisa diterobos oleh kekuasaan yudikatif. Bukan soal mau atau tidak mau,
suka atau tidak suka, tetapi kalaupun Mahkamah Konstitusi, katakanlah, kembali
akan mencampuri hal tersebut, yang jadi pertanyaan, dasar apa yang akan dipakai
oleh Mahkamah Konstitusi? Dapatkah menghitungnya tanpa mencampuri kewenangan
anggaran yang dimiliki oleh pemerintah, serta kemudian diterima oleh DPR? Bukan
hanya sekali, dalam kondisi seperti ini, Mahkamah Konstitusi akan berpendapat
bahwa kewenangan yang dimiliki eksekutif “telah diuji secara obyektif” oleh
DPR. Dengan kata lain, balik ke bahasa jargon hukum, ada permasalahan pilihan
kebijakan (“political questions”).
Kekeliruan Dalam Penyusunan Pasal
Dalam sebuah penyusunan peraturan perundang-undangan, kita harus bisa taat asas peraturan-peraturan yang baik. Asas-asas ini tercantum dengan sangat jelas dalam pasal 5 UU 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam sebuah penyusunan peraturan perundang-undangan, kita harus bisa taat asas peraturan-peraturan yang baik. Asas-asas ini tercantum dengan sangat jelas dalam pasal 5 UU 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Asas-asas inilah yang kemudian tidak diperhatikan oleh DPR dalam penyusunan
UU APBN-P 2012. Dalam penyusunannya kita bisa melihat ada penambahan poin 6a
dalam pasal 7 ayat 6. Dari substansinya, disini ada pertentangan antara ayat 6
dengan poin 6a. Dimana pada ayat 6 pemerintah tidak bisa menaikkan harga BBM
eceran karena secara langsung menyatakan bahwa harga BBM eceran tidak bisa
dinaikkan. Namun dalam rumusan poin 6a nya kita melihat ada kemungkinan
kenaikkan BBM eceran dinaikkan. Disinilah yang bisa dianggap melanggar
asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang tercantum
dalam pasal 5 UU 12 Tahun 2011.
Untuk asas kejelasan tujuan & kejelasan rumusan, apakah kita melihat
adanya kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan? Di ayat 6 tertera bahwa BBM
eceran tidak bisa dinaikkan, namun di ayat 6 huruf a memungkinkan adanya
kenaikan BBM eceran dengan mengikuti harga internasional. Inilah yang kemudian
menjadi letak kesalahan DPR dalam menetapkan huruf a dalam ayat 6. Pasal 7
kemudian akan menjadi pasal yang multitafsir karena substansinya yang saling
bertentangan satu sama lain.
Pada akhirnya, UU APBN-P Pasak 7 Ayat 6 ini yang kemudian menghalalkan
kenaikan BBM eceran bisa disimpulkan telah cacat materiil maupun formil.
Materiil karena substansinya sudah pernah diputus oleh MK bahwa penyerahan
harga BBM eceran itu inkonstitusional karena menabrak langsung Pasal 33 UUD
1945. Cacat secara formil karena dalam pembentukannya melanggar asas-asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dan berpeluang menjadi pasal
karet yang multitafsir.
Kesimpulan
Pemerintah yang datang dengan alasan ingin mengefesiensikan kenaikan harga minyak di dunia internasional dengan cara menaikkan BBM, yang kemudian beralasan bahwa jika tidak dinaikkan akan menyebabkan APBN jebol, harusnya kemudian mengevaluasi diri. Banyak kemudian hal-hal yang menurut kami perlu diperbaiki. Di bawah ini solusi kita kepada pemerintah terkait masalah BBM.
1) Penghematan APBN melalui reformasi birokrasi secara menyeluruh di seluruh lembaga negara dan kementerian negara.
2) Memperkuat sinergitas antara eksekutif dan legislatif dalam memperhatikan masalah BBM terkait masalah energy terutama BBM.
3) Konversi energi untuk kebutuhan kecil dan rumah tangga.
4) Peningkatan dan pengeloaan produksi minyak dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan
Pemerintah yang datang dengan alasan ingin mengefesiensikan kenaikan harga minyak di dunia internasional dengan cara menaikkan BBM, yang kemudian beralasan bahwa jika tidak dinaikkan akan menyebabkan APBN jebol, harusnya kemudian mengevaluasi diri. Banyak kemudian hal-hal yang menurut kami perlu diperbaiki. Di bawah ini solusi kita kepada pemerintah terkait masalah BBM.
1) Penghematan APBN melalui reformasi birokrasi secara menyeluruh di seluruh lembaga negara dan kementerian negara.
2) Memperkuat sinergitas antara eksekutif dan legislatif dalam memperhatikan masalah BBM terkait masalah energy terutama BBM.
3) Konversi energi untuk kebutuhan kecil dan rumah tangga.
4) Peningkatan dan pengeloaan produksi minyak dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar