Kamis, 21 Juni 2012

Kenaikan BBM (Akan) Mengangkangi Konstitusi?


Sebuah negara hukum, lazim ketika ada sebuah konstitusi yang kemudian menjadi dasar suatu negara dalam menjalankan pemerintahan. Konsep konstitusi sendiri telah ada sejak zaman Yunani. Dalam bahasa Yunani, konstitusi kemudian dibedakan dengan undang-undang biasa. Politea sebagai konstitusi, Nomoi sebagai undang-undang biasa. Politea mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Nomoi karena Politea.
Selain dasar, ada juga yang berpendapat bahwa konstitusi juga sebagai pembentuk suatu negara. Menurut Wirjono Prodjodikoro, konstitusi berasal dari bahasa perancis, Constituer yang berarti membentuk, yang dalam konteks ini membentuk negara. Sudah jelaslah bahwa dalam konstitusi juga terdapat cita-cita pembentukan negara yang diamanatkan oleh para founding father dalam konstitusi.
Tentunya cita-cita ini tidak sembarangan disematkan oleh para founding father. Dimaksudkan disematkan dalam konstitusi, agar para pemegang amanah rakyat dalam menjalankan tampuk pemerintahan, bisa mengarahkan negara ini menuju Welfare State, cita-cita mulia para founding father, negara yang mampu mensejahterahkan rakyatnya.

Cita-cita ini yang kemudian diamanahkan dalam pasal 33 UUD 1945 Negara Republik Indonesia.
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam ya ng terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebe sar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berk eadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal ini yang kemudian menjadi penjamin kesejahteraan dalam setiap penyelenggaraan pemerintah. Bahwa hak negara lah untuk menguasai sektor-sektor produksi yang menguasai hajat hidup jutaan rakyat Indonesia.

Pengangkangan Putusan MK = Mengangkangi Konstitusi
Masalah kemudian timbul dalam pembahasan UU APBN-P 2012. Rapat Paripurna yang direncanakan membahas tentang persetujuan DPR untuk mendukung atau tidak kenaikan BBM, membahas mengenai pasal 7 ayat 6 yang berbunyi seperti ini :
“Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.”
Pemerintah yang berniat menaikkan BBM, seakan dibantu dengan keputusan DPR yang membuat poin dari Pasal di atas yaitu Poin 6A. Poin itu membolehkan pemerintah menaikkan BBM bila harga minyak mentah dunia berfluktuasi lebih atau kurang dari 15% dari asumsi dalam 6 bulan. Ini yang kemudian menjadi masalah dalam dalam anggaran tahun ini.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003, MK pernah memutus inkonstitusional pasal 28 ayat 2 dan 3 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak & Gas Bumi. Substansi pasal tersebut tidak jauh beda dengan pasal 7 ayat 6a yang menyerahkan harga ke pasar internasional. Pasal 28 Ayat 2 & ayat 3 :
(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

Menurut MK, pemerintah harus turut campur tangan dalam penentuan harga eceran BBM. Penyerahan penentuan harga eceran BBM ke pasar internasional adalah pengangkangan secara langsung terhadap konstitusi. Penambahan ayat di UU APBN-P 2012 adalah secara langsung menghina putusan MK karena dalam putusan itu secara jelas MK melarang menyerahkan harga BBM eceran ke pasar internasional.
Selanjutnya kita melihat adanya kekacauan dalam harmonisasi peraturan perundang-undangan jika ada penambahan poin 6a di pasal tersebut. Karena untuk persoalan harga ini sebelumnya sudah diatur dalam UU 22 Tahun 2011 tentang Minyak & Gas Bumi. Yang kemudian dibatalkan oleh MK melalui putusannya.
Sebelumnya MK telah melarang untuk menyerahkan harga BBM ke pasar internasional karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di pasal 33 UUD 1945. Namun kenapa DPR tidak belajar dari sejarah putusan itu?

Bahwa harga BBM eceran tidak bisa diserahkan ke pasar internasional. Ini yang kemudian menjadi masalah utama dan sangat rentan diputus inkonstitusional oleh MK jika ada yang mengajukan uji materi ke MK. Alhamdulillah Senin, (2/4/2012) kemarin Bapak Yustil Ihza Mahendra telah melakukan uji materiil ke MK terkait pasal ini. Semoga saja keadilan bisa ditegakkan di MK.

Krisis Kepercayaan Terhadap Pemerintah
Banyaknya masyarakat yang menentang kenaikan BBM ini sebenarnya menunjukkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Masyarakat masih melihat banyak opsi lain seperti pemberantasan korupsi, penghematan belanja negara, rendahnya pemasukan negara dari tambang dan lain-lain, yang masih belum dilakukan secara maksimal.

Pertemuan antara lain merekomendasikan agar keputusan tentang harga BBM dapat dilakukan dengan cepat, untuk mengurangi spekulasi dan inflasi akibat ketidakpastian kenaikan harga BBM.
Dalam jangka menengah, keputusan untuk menaikkkan harga BBM hendaknya tidak berdasar pada kepentingan sesaat, tetapi terukur berdasarkan kriteria yang telah disepakati bersama. Misalnya, perlu adanya batasan minimal gejolak harga minyak dunia yang menjadi acuan.

Indikator-indikator lain perlu juga ditetapkan berkaitan dengan komitmen pemerintah, misalnya kenaikan BBM baru dilakukan setelah pemerintah melakukan penghematan anggaran, mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu dan atau kriteria lainnya.

Untuk jangka panjang, perlu dibentuk peta jalan tentang visi energi ke depan, yang berisi tentang strategi ke depan di bidang energi. (ZG)

Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 (halaman 227-228)
“Para Pemohon mendalilkan, sebagai akibat diserahkannya harga minyak dan gas bumi kepada mekanisme persaingan usaha, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) undang-undang a-quo, di samping akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah/pulau yang, menurut Para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan kecemburuan sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di setiap negara di mana Pemerinah ikut mengatur harga BBM sesuai dengan kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara, karena komoditas BBM tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap dalil Para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan (3) undang-undang a quo mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah, seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;”
Celah yang terbuka dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menurut pandangan saya, membuat Mahkamah Konstitusi akan kesulitan menggunakan alasan “political questions” (permasalahan pilihan kebijakan) untuk menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Seperti kita ketahui, kemungkinan besar akan diajukan permohonan terhadap kebijakan yang mengatur penentuan harga BBM. Dalam Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012, ditentukan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya, apabila dalam kurun waktu 6 bulan terakhir ada kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen. Kemungkinan besar yang dipermasalahkan adalah dasar penentuan kebijakan yang mengacu pada naik turunnya harga tersebut (awam dipahami sebagai “mekanisme pasar”). Tentu akan sulit diterima, bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima permohonan untuk menguji pilihan kebijakan yang mengacu pada “mekanisme pasar” tersebut, sedang sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah mengutak-atik pilihan kebijakan yang mengacu pada “mekanisme pasar”.
Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012
“Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.”
Meskipun permohonan dapat diterima, menurut pendapat saya, belum tentu permohonan tersebut akan dikabulkan. Justru sebaliknya, dalam pemahaman saya, justru permohonan tersebut akan ditolak.
Pertama, kalau alasannya ada kewenangan yang tidak jelas diatur, yaitu apakah pemerintah (eksekutif) berwenangan untuk menentukan harga BBM, putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menjawab dengan lugas. Penentuan tersebut memang menjadi kewenangan pemerintah. Artinya, kalau mau jujur, adanya larangan pemerintah untuk menetapkan harga BBM tersebut (Pasal 7 ayat 6 UU APBN-P 2012) justru yang tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.

Kedua, jika yang dijadikan dasar pembatalan adalah adanya pertimbangan naik turunnya harga minyak di pasar dunia (awam dipahami sebagai “mekanisme pasar”), meskipun konteksnya sebenarnya lain dengan putusan Mahkamah Konstitusi – yang merujuk ke pasar dalam negeri, tidak ada larangan penggunaan acuan tersebut sebagai dasar penentuan kebijakan. Faktanya, suka atau tidak suka, pemerintah akan terikat pada kondisi pasar dunia. Kalau pertanyaannya kemudian, mengapa tidak pilihan kebijakan fiskal lain yang diambil – selain menurunkan subsidi BBM, saya pikir hakim juga bukan berarti bisa punya jawaban yang lebih baik.
Apa dasarnya menentukan satu mata anggaran, misalnya, lebih bisa dijadikan prioritas ketimbang yang lain? Idealnya, keadaan ini akan membuat hakim seharusnya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima, tetapi karena toh sebelumnya Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan poin terkait pilihan kebijakan ini, maka saat ini Mahkamah Konstitusi semestinya meluruskan kembali putusannya itu. Menafsirkan dengan lugas bahwa untuk penilaian kebijakan apa yang akan digunakan, serta bagaimana perhitungannya, adalah wilayah pembuat kebijakan. Selama tidak ada pelanggaran hak konstitusional, maka sesungguhnya hakim tidak punya kewenangan, serta toh tidak bisa menetapkan secara obyektif juga, bagaimana kebijakan itu semestinya diambil.
Baik argumen “demokrasi ekonomi” untuk “menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” sesuai Pasal 33 ayat (4), maupun ketidakpastian hukum sesuai Pasal 28D ayat (1), pada akhirnya, sebagaimana pernah diputuskan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi (lihat Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 di atas), secara hukum telah diatur sebagai kewenangan pemerintah. Bagaimana pilihan kebijakan yang diambil, pada akhirnya menjadi wilayah politik cabang kekuasaan eksekutif, yang tidak bisa diterobos oleh kekuasaan yudikatif. Bukan soal mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, tetapi kalaupun Mahkamah Konstitusi, katakanlah, kembali akan mencampuri hal tersebut, yang jadi pertanyaan, dasar apa yang akan dipakai oleh Mahkamah Konstitusi? Dapatkah menghitungnya tanpa mencampuri kewenangan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah, serta kemudian diterima oleh DPR? Bukan hanya sekali, dalam kondisi seperti ini, Mahkamah Konstitusi akan berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki eksekutif “telah diuji secara obyektif” oleh DPR. Dengan kata lain, balik ke bahasa jargon hukum, ada permasalahan pilihan kebijakan (“political questions”).

Kekeliruan Dalam Penyusunan Pasal
Dalam sebuah penyusunan peraturan perundang-undangan, kita harus bisa taat asas peraturan-peraturan yang baik. Asas-asas ini tercantum dengan sangat jelas dalam pasal 5 UU 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

Asas-asas inilah yang kemudian tidak diperhatikan oleh DPR dalam penyusunan UU APBN-P 2012. Dalam penyusunannya kita bisa melihat ada penambahan poin 6a dalam pasal 7 ayat 6. Dari substansinya, disini ada pertentangan antara ayat 6 dengan poin 6a. Dimana pada ayat 6 pemerintah tidak bisa menaikkan harga BBM eceran karena secara langsung menyatakan bahwa harga BBM eceran tidak bisa dinaikkan. Namun dalam rumusan poin 6a nya kita melihat ada kemungkinan kenaikkan BBM eceran dinaikkan. Disinilah yang bisa dianggap melanggar asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang tercantum dalam pasal 5 UU 12 Tahun 2011.
Untuk asas kejelasan tujuan & kejelasan rumusan, apakah kita melihat adanya kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan? Di ayat 6 tertera bahwa BBM eceran tidak bisa dinaikkan, namun di ayat 6 huruf a memungkinkan adanya kenaikan BBM eceran dengan mengikuti harga internasional. Inilah yang kemudian menjadi letak kesalahan DPR dalam menetapkan huruf a dalam ayat 6. Pasal 7 kemudian akan menjadi pasal yang multitafsir karena substansinya yang saling bertentangan satu sama lain.
Pada akhirnya, UU APBN-P Pasak 7 Ayat 6 ini yang kemudian menghalalkan kenaikan BBM eceran bisa disimpulkan telah cacat materiil maupun formil. Materiil karena substansinya sudah pernah diputus oleh MK bahwa penyerahan harga BBM eceran itu inkonstitusional karena menabrak langsung Pasal 33 UUD 1945. Cacat secara formil karena dalam pembentukannya melanggar asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dan berpeluang menjadi pasal karet yang multitafsir.

Kesimpulan
Pemerintah yang datang dengan alasan ingin mengefesiensikan kenaikan harga minyak di dunia internasional dengan cara menaikkan BBM, yang kemudian beralasan bahwa jika tidak dinaikkan akan menyebabkan APBN jebol, harusnya kemudian mengevaluasi diri. Banyak kemudian hal-hal yang menurut kami perlu diperbaiki. Di bawah ini solusi kita kepada pemerintah terkait masalah BBM.
1) Penghematan APBN melalui reformasi birokrasi secara menyeluruh di seluruh lembaga negara dan kementerian negara.
2) Memperkuat sinergitas antara eksekutif dan legislatif dalam memperhatikan masalah BBM terkait masalah energy terutama BBM.
3) Konversi energi untuk kebutuhan kecil dan rumah tangga.
4) Peningkatan dan pengeloaan produksi minyak dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar